Selasa, 29 April 2014

Mengapa Saya Berhenti Jadi Guru?

,
Membaca Hot Threads (HT) kaskus malam ini (28 april 2014) saya jadi senyum senyum sendiri.. "ternyata ganjalan hati saya selama ini ada juga yang menyuarakannya" gumam saya dalam hati. Iya benar, hal itu berkaitan juga mengapa saya berhenti jadi guru. Jika teman2 dan para pembaca yang budiman sudah membaca profil saya pasti sudah tahu bahwa saya adalah seorang lulusan universitas jurusan pendidikan guru. Dan harusnya keseharian saya adalah duduk di depan kelas melaksanakan aktifitas KBM di dalam kelas.

Kejujuran, adalah salah satu krisis yang melanda bangsa kita selama ini. Membuat negara kita yang kaya dan adi daya menjadi salah satu dari 20 negara termiskin di asia tenggara. Korupsi merajalela hingga sektor terkecil sekalipun, menjadi budaya yang sudah dianggap wajar dalam pekerjaan di kantor, di pusat perdagangan, pusat pemerintahan, bahkan di pusat pendidikan yang seharusnya mengajarkan tentang nilai kejujuran. Ada apa dengan negara ini..?

Salah satu HT kaskus yang saya baca berjudul keluh kesah siswi yang mengikuti Ujian Nasional. Kalau pembaca sekalian sudah tidak menemukannya, barangkali masih bisa dilihat (kalau belum dihapus) di website tolakujiannasional.com. Sebuah website yang ditulis oleh siswi kelas 3 SMA yang telah melaksanakan ujian nasional. Sempat heboh dan mungkin akan terus heboh pada minggu mendatang. Yang penting website tersebut sempat dibaca oleh mentri pendidikan. Entah bagaimana tanggapannya, mungkin kita sudah bisa menebaknya.

foto waktu saya menjadi guru
Jadi intinya, saya disini setuju dengan pendapat bahwa Ujian Nasional hendaknya dihapuskan. Atau paling tidak, diganti dengan sistem ujian yang berbeda. Ada kata2 dalam web tersebut yang sangat menarik bagi saya, bahwa Ujian Nasional membuat anak yang jujur tidak punya pilihan lain selain "mencontek". Kenapa? Karena mereka diayangi oleh rasa takut, rasa cemas, dan rasa malu jikalau nantinya tidak lulus.


Dulu, waktu menjadi seorang guru tentunya saya dianjurkan untuk membuat anak didik saya menjadi pintar. Menguasai berbagai pelajaran yang entah mereka sukai atau tidak. Yang jelas beban tersebut sangat bertentangan dengan hati nurani saya sendiri. Sewaktu saya duduk di bangku SD sangat tidak menyukai pelajaran IPS misalnya, dan walaupun begitu akhirnya saya paham bahwa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 walaupun nilai saya yang tidak memuaskan saat itu.


Mungkin sistem pendidikan kita sudah saatnya harus dirubah. Indonesia tidak pernah kekurangan orang pandai dan cerdas. Setiap tahun bahkan anak bangsa sanggup memenangkan berbagai olimpieade internasional di bidang matematika, sains, dan sebagainya. Mungkin juga sudah saatnya diadakan olimpiade kejujuran. Saya yakin Indonesia menjadi negara terbodoh di dunia.

Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena sistem pendidikan kita mengajarkan hal seperti itu. Bahkan guru yang seharusnya mengajarkan nilai kejujuran terpaksa harus berbohong agar murit kesayangannya bisa naik kelas hanya gara2 nilai salah satu pelajaran muritnya yang jeblok. Oh nilai, mengapa kamu mempermainkan kami..

Di sekolah, setiap siswa harus mengusai mata pelajaran di berbagai bidang dengan sempurna, mereka dituntut untuk menjadi manusia super yang bisa belajar matematika, IPS, bahasa indonesia, dan sains dalam satu waktu. Memang pasti ada anak yang bisa seperti itu, tapi saat di bangku perkuliahan saya diajarkan bahwa setiap anak itu unik dan berbeda. Tapi saat dihadapakan pada dunia nyata pendidikan sekolah, saya diharuskan menganggap bahwa murit itu sama. Sama pintarnya, sama kesukaannya, sama kemampuannya, sama IQnya dan sama semuanya. Bagaimana itu bisa terjadi?

Contohnya saja dari website yang dibuat Nurmillaty Abadillah yang telah saya sebutkan diatas. Anak seusia SMA sudah bisa menulis jeritan hatinya sebaik itu dan menungkannya dalam sebuah tulisan di website. Saya yakin bapak ibu gurunya mungkin tidak semua ada yang bisa membuat website, bahkan mungkin tidak familliar dengan internet. Itu membuktikan bahwa anak itu bukan anak yang bodoh, bahkan mungkin lebih pintar daripada kita orang generasi lama. Itu juga menunjukkan bahwa kesulitannya dalam menghadapi Ujian Nasional bukan cuma isapan jempol. Mungkin akan sama jika kita yang sedang berada dalam posisinya.

Saya teringat dengan perbincangan saya dengan seorang teman beberpa hari yang lalu. Dia adalah teman saya sewaktu duduk di bangku Sanawiyah (setingkat SMP). Dia menceritakan saat SMA seorang temannya yang pintar dan terus mendapatkan rangking tidak lulus saat Ujian Nasional, sedangkan teman2nya yang tidak pernah belajar dan suka bolos malah lulus.. Apa2an ini? Apakah anak yang belajar dan berjuang mati2an harus tidak lulus hanya gara2 soal yang diberikan tidak memenuhi standar yang diajarkan oleh sekolah? Apakah yang menghitung kancing baju lebih berhak lulus? Apakah dia tetap harus membuat contekan karena tidak yakin dengan kemampuannya?

Akhirnya yang nilainya bagus yang boleh lulus. Yang berani bayar mahal untuk membeli bocoran soal yang berhak untuk lulus, dan mereka bisa masuk perguruan tinggi ternama, dan sanggup lagi untuk membeli nilai. Dan akhirnya merekalah yang bisa duduk di kursi2 penting penentu kebijakan pemerintah. Maka habislah negeri ini. Mereka sudah lulus dan lihai sebagai pembohong nasional, menjadi tikus2 negara yang larinya sudah gesit karena terlatih sejak kecil.

Mungkin segini saja dulu curhatan saya malam ini. Sebenarnya hal itu tak pantas menjadi alasan saya untuk berhenti mengajar. Ah, mungkin masih banyak lagi alasan saya yang bisa saya tulis lain waktu. Yang jelas, saya tetap ingin terus berkontribusi untuk pendidikan Indonesia entah bagaimana jalannya. Salam pendidikan!
Ditulis oleh: Nicko Rh

0 komentar to “Mengapa Saya Berhenti Jadi Guru?”

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak :)